Kapan Resign?

#66 Mengeluh dan mengkritik bukan berarti kita benci

Qowim Musthofa
3 min read2 hours ago
Photo by Artur Voznenko on Unsplash

Saya pernah curhat tentang kerjaan dosen di kampus ke seorang dosen muda yang sudah bergelar profesor. Usianya belum sampai 40 tahun.

Di sebuah acara seminar yang diselenggarakan oleh kampus tempat saya mengajar, ia menjadi pembicara untuk pelatihan penulisan karya ilmiah bereputasi. Sesi ramah tamah sebelum naik ke panggung, saya ngobrol untuk menemaninya. Ia bercerita tentang kesuksesannya di dunia akademik, ia menceritakan tentang betapa mudah dan lancarnya menulis hingga bisa terbit di jurnal-jurnal internasional.

Belum menjadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.

Lalu saya menceritakan keadaan kampus dan beban kerja-kerja administratif yang terkadang dosen sudah kehabisan tenaga untuk menulis dan riset. Ia cerita bahwa beban mengajarnya hanya 4 SKS persemester ditambah ia tidak menjabat. Berbeda dengan pengalaman saya, minimal saya harus mengajar 14 SKS ditambah jabatan di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM).

Nada saya memang mengeluh dan dia menjawab dengan nada datar “Kapan resign?” kemudian ia tertawa. Saya ikut tertawa saja untuk mengimbanginya sedangkan di dalam hati, saya mengumpat.

Saya tertegun. Berpikir sejenak dan … Bukan itu masalahnya.

--

--

Qowim Musthofa

Mengajar di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Yogyakarta. Narablog di qowim.net