Anak PNS

#1 Cerita pertama tentang ayah. Dia yang doanya tak kunjung lelah.

Qowim Musthofa
5 min readAug 18, 2024
<a href=”https://www.freepik.com/free-vector/happy-father-s-day_5718969.htm#fromView=search&page=1&position=15&uuid=a419d389-bea7-4dfb-8f1a-bba89eaab375">Image by gstudioimagen on Freepik</a>
Ilustrasi Gstudioimagen from Freepik

|| Belum menjadi anggota Medium? Baca versi gratis tulisan ini.

Saya memanggilnya dengan sebutan Abah. Panggilan yang tak lazim dan populer pada saat itu. Di desa kelahiran saya, anak-anak yang memanggil abah sangat jarang. Hampir tak saya temui, teman-teman sebaya saya yang memanggil ayahnya dengan sebutan Abah.

Pa’e adalah panggilan populer saat itu.

Mungkin, prediksi saya adalah karena Abah alumni pesantren di Lasem, memaggil gurunya dengan sebutan Abah, atau mendengar anak-anak gurunya memanggil ayahnya dengan sebutan Abah. Sebab itu, mungkin Abah ingin mengikuti jejak gurunya. Mungkin saja. Sebab sampai hari ini saya belum pernah bertanya, kenapa dulu ingin dipanggil Abah.

Nama Abah adalah Muntaha. Dari namanya saja adalah Bahasa Arab, artinya terakhir, mentog, pol-polan. Soal nama ini ada yang lucu, kakak Abah namanya adalah Khatim (semoga Allah melapangkan kuburnya) artinya terakhir dalam Bahasa Jawa pungkasan. Lalu entah bagaimana ceritanya tiba-tiba keluar lagi adiknya, tidak mungkin dinamai khatim 2. Lalu keluarlah nama Muntaha itu. Untungnya, Abah saya tidak punya adik lagi. Apa jadinya nama adik dari Abah saya itu?

--

--

Qowim Musthofa

Mengajar di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Yogyakarta. Narablog di qowim.net